Tewaskan ribuan orang, mantan operator drone AS buka suara
Banan
Ahad, 30 Rajab 1434 H / 9 Juni 2013 11:09
MISSOULA, MONTANA,
USA, OCTOBER 27 2012:
Brendan Bryant, 27, pauses near Missoula.
After six years as an Air Force drone Sensor Operator, Bryant has been
diagnosed with Post Traumatic Stress Syndrom. He flew missions in Iraq and Afghanistan,
during which he saw both U.S.
soldiers and Afghan civilans killed. Working side by side with the pilot, the
drone's Sensor Operator watches targets (sometimes for hours or days) and tags
them with a laser just before the pilot shoots the drone's missile (photo
Gilles Mingasson for Der Spiegel).
Selama lebih dari lima tahun, Brandon Bryant bekerja untuk Angkatan
Udara AS, membantu mengoperasikan beberapa pesawat tak berawak, kendaraan
paling kontroversial di dunia. Dalam sebuah wawancara di NBC News pada hari
Kamis (6/6/2013), dia menggambarkan trauma psikologis yang dia derita setelah
berhenti menjadi operator drone.
Bryant memberikan gambaran tentang adegan mengerikan saat senjata-senjata
mematikan yang disebut-sebut telah membunuh lebih dari 1.600 orang itu membidik
target mereka hingga misi dianggap “sukses”.
“Orang yang berlari itu, dia kehilangan kaki kanannya,” kenangnya. “Dan saya
menyaksikan orang itu kehabisan darah,” kata Bryant yang menjelaskan bahwa dia
dan timnya bisa menyaksikan insiden itu di layar komputer mereka. Bryant
kemudian berkata bahwa ketika pria itu meninggal, tubuhnya menjadi dingin. Hal
itu terlihat dari citra termal yang berubah, sampai akhirnya tubuh pria itu
terlihat menjadi sama dengan warna tanah.
Bryant mengatakan adegan seperti itu akhirnya membuatnya merasa seperti
“sosiopat” yang telah “kehilangan respek terhadap kehidupan.” Dia kemudian
berhenti dari Angkatan Udara
AS.
Ruang pengoperasian drone
Bryant mengatakan bahwa dia kini menderita berbagai gangguan seperti
kemarahan dan susah tidur. Dia juga telah didiagnosa menderita gangguan stres
Post-traumatic Stress Disorder (PTSD).
Pada bulan Desember, dalam wawancaranya dengan surat kabar Jerman
Der Spiegel,
Bryant menjelaskan bahwa dia yakin salah satu dari serangan-nya telah tidak
sengaja membunuh seorang anak. Atasannya malah bersikeras bahwa anak itu adalah
seekor anjing.
Banyak korban yang telah gugur dalam serangan pesawat tak berawak AS.
Richard Engel dan Robert Windrem dari
NBC News melaporkan pada hari
Rabu bahwa laporan intelijen rahasia dari
CIA telah menunjukkan bahwa
tidak selalu diketahui siapa yang ditargetkan dan siapa yang terbunuh dalam
serangan drone di Pakistan selama periode 14 bulan.
David Wood dari
HuffPost melaporkan bahwa di bulan Mei para
operator drone merasakan ketegangan emosional sebagai akibat dari pekerjaan
mereka:
Sebagian besar stres “berasal dari ketidakberdayaan yang bisa mereka
rasakan,” kata Mayor Angkatan Udara Shauna Sperry, psikolog yang telah bekerja
di dalam fasilitas ini sejak November. “Mereka begitu muda,” kata Sperry kepada
The Huffington Post. “Mereka melakukan apa yang ‘harus’ mereka
lakukan, tapi ada banyak korban yang berjatuhan.”
Ditanya tentang “cedera moral,” pelanggaran prinsip-prinsip moral seseorang,
dia berkata: “Itu deskripsi yang cukup akurat dari apa yang beberapa orang di
sini alami, mereka melihat hal itu terjadi dan tidak ada yang bisa mereka
lakukan untuk mengubahnya.”
Anehnya, meskipun begitu nyata kompleksitas dan kontroversi seputar
penggunaan drone, jajak pendapat
Wall Street Journal / NBC News yang
dirilis pada hari Rabu menemukan bahwa 66 persen orang Amerika malah mendukung
serangan menggunakan pesawat tak berawak AS. Hanya 16 persen yang mengatakan
bahwa mereka menentang penggunaan drone. (banan/
arrahmah.com)